Perdagangan
dalam islam tidak dilarang dan tidak diharamkan, didalam islam perdagang dalam
bentuk niaga dan jual beli itu dihalalkan atau tidak dilarang, tetapi tentu
saja untuk menjalankan perdagang dalam islam ada tata cara nya atau ada aturan perdagangan
agar tidak terjadinya perdagangan yang haram. Didalam islam ada aturan yang
mengatur bagaimana seseorang dalam menjalankan perdagangan agar mendapatkan
berkah dan rahmat dari Allah SWT serta agar tidak ada hal-hal yang haram
menyangkut diperdagangan seorang muslim.
Didalam islam dijelaskanberbagai etika yang
harus dilakukan oleh para pedagang dalam melakukan jual beli . aturan
perdagangan dalam islam berlaku bagi para penjual dan pembeli.
Syarat
dan rukun jual beli menurut imam:
a.
Madzhab Syafi’i
- Aqid (penjual dan pembeli). Syaratnya harus ithlaq al-tasharruf (memiliki kebebasan pembelanjaan), tidak ada paksaan, muslim (jika barang yang dijual semisal mushaf), bukan musuh (jika barang yang dijual alat perang).
- Ma’qud ‘alaih (barang yang dijual dan alat pembelian). Syaratnya harus suci, bermanfaat (menurut kriteria syariat), dapat diserahterimakan, dalam kekuasaan pelaku akad, dan teridentifikasi oleh pelaku akad.
- Shighat (Ijab dan Qabul). Syaratnya tidak diselingi oleh pembicaraan lain, tidak terdiam di tengah-tengah dalam waktu lama, terdapat kesesuaian antara pernyataan ijab dan qabulnya, tidak digantungkan kepada sesuatu yang lain, dan tidak ada batasan masa.
Di
kalangan madzhab Syafi’i jual beli dengan mu’athah (tanpa pernyataan
ijab qabul) tidak sah, namun menurut ulama’ Syafi’iyah adalah sah untuk
barang-barang di mana tanpa ijab qabul sudah dianggap sebagai jual beli atau
untuk barang-barang dengan harga kecil.
b.
Madzhab Hanafi
- Ijab
- Qabul
Menurut
madzhab Hanafi, jual beli dapat terjadi (in’iqad) hanya dengan ijab
dan qabul. Jadi in’iqad adalah keterikatan pembicaraan salah satu
dari dua pihak yang berakad dengan lainnya menurut syari’at atas suatu
cara yang tampak hasilnya pada sasaran jual beli. Maka, jual beli menurut
madzhab ini merupakan atsar syari’ (hasil nyata secara syari’at)
yang tampak pada sasaran (jual beli) ketika terjadi ijab qabul, sehingga
pihak yang berakad memiliki kekuasaan melakukan tasharruf. Untuk
mencapai atsar yang nyata melalui ketersambungan ijab qabul, maka
pihak pelaku (aqid) disyaratkan harus sehat akalnya dan mencapai usia tamyiz.
Pada sasaran ijab qabul harus berupa harta yang dapat diserahterimakan.
Mengenai jual beli dengan cara mu’athah, madzhab Hanafi memperbolehkan
secara mutlak baik itu pada barang berharga besar maupun kecil, kecuali menurut
pendapat al-Karkhi yang hanya memperbolehkan pada barang-barang yang kecil.
c.
Madzhab Maliki
- Shighat. Harus merupaan sesuatu yang dapat menunjukkan ridha (saling setuju) dari pihak aqid, baik berupa perkataan atau isyarat dan tulisan. Madzhab Maliki memperbolehkan jual beli dengan cara mu’athah.
- Aqid. Syaratnya harus tamyiz (sudah dapat memahami pertanyaan dan mampu menjawabnya). Dalam madzhab ini aqid tidak disyaratkan muslim walaupun barang yang dijual berupa mushaf.
- Ma’qud ‘alaih. Syaratnya harus suci, dapat diserahterimakan, teridentifikasi, tidak terlarang penjualannya, dan dapat diambil manfaatnya.
d.
Madzhab Hambali
- Aqid. Syaratnya harus memiliki kepatutan melakukan tasharruf, yaitu harus sempurna akalnya, baligh, mendapat izin, kehendak sendiri, dan tidak sedang tercegah tasharrufnya.
- Ma’qud ‘alaih. Syaratnya memiliki manfaat menurut syari’at, boleh dijual oleh pihak aqid, dimaklumi bagi kedua belah pihak yang melakukan akad dan bisa diserahterimakan, dan di samping semua itu harus tidak bersamaan dengan sesuatu yang menghalanginya, yaitu larangan syara’.
- Ma’qud bih (Shighat). Syaratnya harus berupa perkataan yang dapat menunjukkan persetujuan dan suka sama suka antara dua belah pihak. Tentang mu’athah, dalam madzhab Hambali terdapat tiga pendapat, yaitu membolehkan, tidak membolehkan, dan membolehkan hanya pada barang yang berharga kecil.
Selain syarat dan rukun . dalam islam juga ada adab perdagangan :
a. Amanah,
artinya penjual dan pembeli sama-sama bersikap jujur. Mislakan penjual tidak
boleh mencampur buah-buahan yang lam dangan yang baru dan menjualnya dengan
harga yang sama. Demikian juga pembeli harus bersikap jujur jika ada kelebihan
pengembalian uang.
b.
Ihsan. Ynag dimaksud ihsan adalah menjalankan perdagangan dengan
memepertimbangkan aspek kemaslahatan dan keberkahan dari Allah SWT, selain
mendapat keuntungan.
c. Bekerjasama.
Penjual dan pembeli hendaklah bermusyawarah sekiranya timbul masalah yang tidak
diinginkan.
d. Tekun.
Perdagangan hendaklah dilakukan dengan tekun dan bersunguh-sungguh agar
berkembang maju.
e. Menjauhi
perkara yang haram. Penjual hendaklah menjauhi perkara yang haram selama
menjalankan pernigaan. Contohnya menipu dalam timbangan, menjalankan muamalat
riba, dan menjual barang yang diharamkan.
f. Melindungi
penjual dan pembeli.Penjual dan pembeli hendaklah saling melindungi hak
-masing. Contohnya penjual memberikan peluang yang secukupnya kepada pembeli
untuk melihat pilihan ketika hendak membeli sesuatu barang.
Di dalam Al-Qur'an
ketentuan-ketentuan berdagang (Arab = tijaarah) diberikan secara umum (tidak
berupa teori-teori yang terperinci). Itu terdapat dalam beberapa ayat :
1. Prinsip jangan sampai memakan riba, al-Baqarah: 275.
2. saksi yang rapi dan jujur, al-Baqarah: 282.
3. Perniagaan itu berdasar suka-sama suka, tidak ada pemaksaan, al-Nisaa': 29.
4. Perniagaan tidak boleh melalaikan ibadah, al-Nur :34; al-Jum'ah : 9 - 11.
1. Prinsip jangan sampai memakan riba, al-Baqarah: 275.
2. saksi yang rapi dan jujur, al-Baqarah: 282.
3. Perniagaan itu berdasar suka-sama suka, tidak ada pemaksaan, al-Nisaa': 29.
4. Perniagaan tidak boleh melalaikan ibadah, al-Nur :34; al-Jum'ah : 9 - 11.
0 komentar:
Posting Komentar