Minggu, 19 Januari 2014

Pemilu di Indonesia


A.              Pelaksanaan Pemilu Di Indonesia
Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu di Indonesia merupakan suatu sarana dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu.  
Pada awalnya Pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) semula dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Kemudian berdasarkan amandemen keempat UUD 1945 pada 2002 pilpres dilakukan secara langsung oleh rakyat sehingga pilpres dimasukkan dalam agenda Pemilu.
Pilpres sebagai salah satu dari Pemilu di Indonesia diadakan pertama kali pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari agenda pemilu di Indonesia. Istilah Pemilu di Indonesia lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Masyarakat diberi kesempatan untuk memilih siapa yang akan memimpin negeri ini dengan harapan membawa masyarakat pada kemakmuran. Pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang berjalan dari, oleh dan untuk rakyat seperti defenisi umum dari demokrasi itu sendiri. Pemilu dipercaya efektif dalam memperoleh legitimasi dari rakyat ketika mereka memiliki kesempatan untuk memberikan hak suara dalam menentukan pemimpin atas mereka.
Sejak runtuhnya rezim orde baru 1998 di bawah kepemimpinan Soeharto karena krisis ekonomi dan kerusuhan massa yang menuntutnya turun dari jabatan kepala negara. Keran demokrasi deras mengalir ke seluruh penjuru negeri, partai politik pun menjamur. Sebelumnya partai peserta pemilu waktu itu hanya tiga yaitu Golkar, PDI Marhaenisme dan PDI Perjuangan.
Sangat disayangkan makin lama proses yang seharusnya berjalan dengan baik serta menjadi cara yang efektif dalam menghimpun aspirasi rakyat tersebut makin lama makin bergeser. Menurunnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin adalah penyebabnya. Rakyat tidak lagi merasa yakin dengan orang-orang yang maju sebagai calon pemimpin di negeri ini. Berbanding terbalik dengan jumlah partai politik yang makin banyak, jumlah partisipan pemilih malah mengalami penurunan.


B.               Tingkat partisipasi dalam pemilihan umum
“Pada Pemilu 2004, tingkat partisipasi pemilih turun menjadi 84%. Pada Pemilu 2009, tingkat partisipasi pemilih lebih turun lagi menjadi hanya 70,1%. Hal itu juga diakui oleh anggota Komisi II DPR RI dari PKB Abdul Malik Haramain di Jakarta”
Masyarakat yang terdaftar dalam calon pemilih sering tidak menggunakan hak pilihnya ketika pemilihan pemimpin diadakan. Alasan mereka adalah tidak ada gunanya memilih calon pemimpin yang hanya mementingkan kekuasaan. Artinya banyak calon pemilih yang tidak percaya dengan calon-calon yang maju dalam pemilihan pemimpin, baik itu presiden, DPR, Walikota, Gubernur atau Bupati.  Hal ini diakibatkan oleh kekecewaan warga yang sering tidak melihat realisasi janji-janji calon ketika kampanye. Banyak yang akhirnya merasa kecewa karena merasa telah dikhianati oleh pemimpin yang dipilihnya saat pemilihan. Hal ini tentu membuat masyarakat jera untuk menggunakan hak pilihnya di kemudian waktu ketiak pemilihan tiba.
Setahun menjelang pemilihan presiden Republik Indonesia, selain kesibukan negara dalam memproses koruptor, partai politik juga sibuk memperbaiki citra karena kadernya terpidanan kasus korupsi. Tingginya tingkat korupsi para pejabat membuat masyarakat phobia terhadap politik dan politikus. Pemerintah pusat dan daerah dinilai sama saja tidak berpihak kepada rakyat setelah menduduki jabatan dalam pemerintahan.
Kader-kader partai juga gagal meyakinkan rakyat bahwa mereka bekerja untuk rakyat, walau mengumbar berbagai kampanye dan pidato di media, rakyat tidak lagi percaya dengan janji tanpa bukti. Wakil rakyat di gedung DPR dan aparat kepolisian menjadi institusi yang paling dicap dengan tinta merah oleh rakyat. Akhirnya terindikasi jika rakyat mulai memandang miring para pejabat pemerintahan sebagai ladang penggalian harta pribadi semata atas nama rakyat.
Pada akhirnya rakyat akan memilih bungkam ketika pemilihan umum tiba pada masa pelaksanaannya. Kampanye lewat media massa dan baliho iklan tidak lagi menjawab kedekatan partai dengan rakyat. Mungkin KPU akan melakukan berbagai upaya sebagai badan pelaksanan pemilihan umum, agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Namun hal itu dinilai tidak cukup berhasil merayu rakyat untuk memilih, tidak lain jawaban satu-satunya adalah kehadiran sosok pemimpin yang memang benar-benar bisa dipercaya.
Lembaga Survei Indonesia mencatat bahwa dari tahun 1999 golput pada pemilihan umum selalu mengalami peningkatan. Data LSI mengatakan bahwa tahun 1999 jumlah pemilih di Indonesia berkisar 93,33 persen yang menggunakan hak pilihnya, kemudian tahun 2004 menurun menjadi 84,9 persen, dan pada Pemilu 2009 angka pemilih menurun lagi menjadi 70,99 persen.

Untuk menghitung jumlah golput tidak bisa hanya berdasarkan faktor administratif. KPU sebagai penyelenggara harus bisa melihat secara tajam penyebab kecilnya partisipasi pemilih. Mekanisme untuk menggapai apresiasi dari pemilih sangat rumit.Sistemadministrasijugalemah.

“Sosialisasi yang membangun kesadaran pemilu sangat lemah. Seharusnya KPU mempermudah pemilih. Pertama, soal sistem undangan. Pemilih kan dikirimi undangan. Seolah-olah kalau undangan tidak sampai, pemilih merasa tidak berhak memilih. Ini masalah krusial. Harusnya, setiap anda yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah bisa menggunakan hak pilihnya. Sistem itu memastikan hal itu agar masyarakat tidak ragu-ragu,” ujarnya. (Yahya Farid Nasution)

C.               Menekan Angka Golput
Jumlah golput tidak akan menggagalkan sebuah pemilu, meski mencapai 75 persen. Gerakan golput juga tidak mengubah  sistem apapun. Sudah saatnya masyarakat meninggalkan kebiasaan golput dalam pemilu, menggunakan hak pilih mereka secara bijak untuk memilih pemimpin.
Golput merupakan ekspresi ketidakpuasan kepada partai politik karena figur-figur yang dicalonkan dianggap tidak lagi bisa dipercaya. Fenomena itu lantaran banyaknya persoalan bangsa yang tidak mampu dibenahi para pemimpin. Mereka hanya menawarkan janji-jani kosong, bahkan banyak yang terjerat kasus korupsi.
Golput sudah harus ditinggalkan karena tak akan mampu merubah perpolitikan bangsa. Ada beberapa hal yang bisa dipakai untuk memperbaiki politik di negeri ini. Diantaranya dengan gerakan hak pilih dan menggalakkan gerakan pemilih yang rasional dan cerdas untuk melawan partai-partai bopeng. Kita bisa melakukannya dengan cara mengajak orang-orang di sekitar kita agar tidak golput, memilih pemimpin yang sesuai hati nurani.
Solusi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu :
1.      Memaksimalkan proses sosialisasi tentang pentingnya Pemilu dalam sebuah Negara yang demokratis, bukan hanya sosialisasi teknis penyelenggaraan Pemilu. Meskipun dalam ketentuan undang-undang menyatakan bahwa sosialisasi dilakukan terkait dengan teknis penyelenggaraan Pemilu, namun sosialisasi segala hal yang melatarbelakangi penyelenggaraan Pemilu perlu untuk dilakukan.  Hal ini menjadi penting karena penanaman pemahaman terkait dengan esensi dan kaidah-kaidah demokrasi merupakan inti penggerak semangat masyarakat untuk terus menjaga demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu di Negara ini.
2.       Pendidikan bagi pemilih perlu mendapatkan fokus yang jelas. Ini terkait dengan proses segmentasi pendidikan pemilih. Pemilih pemula dari generasi muda merupakan segmentasi penting dalam upaya melakukan pendidikan bagi pemilih dan tentunya pendidikan bagi pemilih pemula ini tidak hanya dilakukan ketika masuk usia pilih. Namun lebih dari itu, pendidikan bagi pemula seharusnya dilakukan sedini mungkin, sehingga pemahaman tersebut terbangun dan ketika sudah mencapai usia pemilih, para pemilih pemula sudah siap menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Mengadakan simulasi pemilu atau demokrasi dalam ruang lingkup disekitarnya seperti diadakan sistem pemilu disaat pemilihan anggota osis di sekolah, dan diadakan sistem pemilu saat pemilihan keanggotaan BEM di kampus . Kebijakan tersebut membantu meningkatkan minta masyarakat dari sejak dini.
3.      Meningkatan kinerja penyelenggara Pemilu, bukan hanya menumbuhan kesadaran tentang pentingnya partisipasi masayarakat dalam penyelenggaraan Pemilu tetapi kinerja dari badan pemilu seperti KPU dan instansi pemerintah harus lebih dimaksimalkan pelayanan dan kinerjanya sehingga dapat mengurangkat tingkat golput karena  kinerja yang kurang efektif.
4.       Survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat yang kini banyak mendapatkan sorotan publik terkait dengan integritas pelaksanaannya. Banyak anggapan bahwa survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat dilakukan hanya untuk kepentingan profit saja. Namun, di satu sisi, perlu diperhatikan bahwa keberadaan kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat sangatlah penting. Kegiatan tersebut juga bisa dijadikan sebuah sarana untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Untuk itu, kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat perlu mendapatkan dukungan, karena kegiatan tersebut merupakan sarana yang tentu saja bukan hanya ditujukan untuk menghitung atau profit saja, namun lebih dari itu, ada proses pendidikan bagi para pemilih serta informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu.

0 komentar:

Posting Komentar