A.
Pelaksanaan
Pemilu Di Indonesia
Pemilihan
Umum atau disingkat Pemilu di Indonesia merupakan suatu sarana dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945.
Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan
(kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui
wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu.
Pada
awalnya Pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota lembaga legislatif,
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres) semula dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
lembaga tertinggi negara. Kemudian berdasarkan amandemen keempat UUD 1945 pada
2002 pilpres dilakukan secara langsung oleh rakyat sehingga pilpres dimasukkan
dalam agenda Pemilu.
Pilpres
sebagai salah satu dari Pemilu di Indonesia diadakan pertama kali pada tahun
2004. Selanjutnya pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007,
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan
sebagai bagian dari agenda pemilu di Indonesia. Istilah Pemilu di Indonesia
lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil
presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Masyarakat diberi kesempatan untuk memilih siapa yang akan
memimpin negeri ini dengan harapan membawa masyarakat pada kemakmuran.
Pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang berjalan dari, oleh dan untuk
rakyat seperti defenisi umum dari demokrasi itu sendiri. Pemilu dipercaya
efektif dalam memperoleh legitimasi dari rakyat ketika mereka memiliki
kesempatan untuk memberikan hak suara dalam menentukan pemimpin atas mereka.
Sejak runtuhnya rezim orde baru 1998 di bawah kepemimpinan
Soeharto karena krisis ekonomi dan kerusuhan massa yang menuntutnya turun dari
jabatan kepala negara. Keran demokrasi deras mengalir ke seluruh penjuru
negeri, partai politik pun menjamur. Sebelumnya partai peserta pemilu waktu itu
hanya tiga yaitu Golkar, PDI Marhaenisme dan PDI Perjuangan.
Sangat disayangkan makin lama proses yang seharusnya
berjalan dengan baik serta menjadi cara yang efektif dalam menghimpun aspirasi
rakyat tersebut makin lama makin bergeser. Menurunnya kepercayaan rakyat
terhadap para pemimpin adalah penyebabnya. Rakyat tidak lagi merasa yakin
dengan orang-orang yang maju sebagai calon pemimpin di negeri ini. Berbanding
terbalik dengan jumlah partai politik yang makin banyak, jumlah partisipan
pemilih malah mengalami penurunan.
B.
Tingkat
partisipasi dalam pemilihan umum
“Pada Pemilu 2004,
tingkat partisipasi pemilih turun menjadi 84%. Pada Pemilu 2009, tingkat
partisipasi pemilih lebih turun lagi menjadi hanya 70,1%. Hal itu juga diakui
oleh anggota Komisi II DPR RI dari PKB Abdul Malik Haramain di Jakarta”
Masyarakat yang terdaftar dalam calon pemilih sering tidak
menggunakan hak pilihnya ketika pemilihan pemimpin diadakan. Alasan mereka
adalah tidak ada gunanya memilih calon pemimpin yang hanya mementingkan
kekuasaan. Artinya banyak calon pemilih yang tidak percaya dengan calon-calon
yang maju dalam pemilihan pemimpin, baik itu presiden, DPR, Walikota, Gubernur
atau Bupati. Hal ini diakibatkan oleh kekecewaan warga yang sering tidak
melihat realisasi janji-janji calon ketika kampanye. Banyak yang akhirnya
merasa kecewa karena merasa telah dikhianati oleh pemimpin yang dipilihnya saat
pemilihan. Hal ini tentu membuat masyarakat jera untuk menggunakan hak pilihnya
di kemudian waktu ketiak pemilihan tiba.
Setahun menjelang pemilihan presiden Republik Indonesia,
selain kesibukan negara dalam memproses koruptor, partai politik juga sibuk
memperbaiki citra karena kadernya terpidanan kasus korupsi. Tingginya tingkat
korupsi para pejabat membuat masyarakat phobia terhadap
politik dan politikus. Pemerintah pusat dan daerah dinilai sama saja tidak
berpihak kepada rakyat setelah menduduki jabatan dalam pemerintahan.
Kader-kader partai juga gagal meyakinkan rakyat bahwa mereka
bekerja untuk rakyat, walau mengumbar berbagai kampanye dan pidato di media,
rakyat tidak lagi percaya dengan janji tanpa bukti. Wakil rakyat di gedung DPR
dan aparat kepolisian menjadi institusi yang paling dicap dengan tinta merah
oleh rakyat. Akhirnya terindikasi jika rakyat mulai memandang miring para
pejabat pemerintahan sebagai ladang penggalian harta pribadi semata atas nama
rakyat.
Pada akhirnya rakyat akan memilih bungkam ketika pemilihan
umum tiba pada masa pelaksanaannya. Kampanye lewat media massa dan baliho iklan
tidak lagi menjawab kedekatan partai dengan rakyat. Mungkin KPU akan melakukan
berbagai upaya sebagai badan pelaksanan pemilihan umum, agar masyarakat
menggunakan hak pilihnya. Namun hal itu dinilai tidak cukup berhasil merayu
rakyat untuk memilih, tidak lain jawaban satu-satunya adalah kehadiran sosok
pemimpin yang memang benar-benar bisa dipercaya.
Lembaga Survei Indonesia mencatat bahwa dari tahun 1999
golput pada pemilihan umum selalu mengalami peningkatan. Data LSI mengatakan
bahwa tahun 1999 jumlah pemilih di Indonesia berkisar 93,33 persen yang
menggunakan hak pilihnya, kemudian tahun 2004 menurun menjadi 84,9 persen, dan
pada Pemilu 2009 angka pemilih menurun lagi menjadi 70,99 persen.
Untuk menghitung
jumlah golput tidak bisa hanya berdasarkan faktor administratif. KPU sebagai
penyelenggara harus bisa melihat secara tajam penyebab kecilnya partisipasi
pemilih. Mekanisme untuk menggapai apresiasi dari pemilih sangat
rumit.Sistemadministrasijugalemah.
“Sosialisasi yang membangun kesadaran pemilu sangat lemah. Seharusnya KPU mempermudah pemilih. Pertama, soal sistem undangan. Pemilih kan dikirimi undangan. Seolah-olah kalau undangan tidak sampai, pemilih merasa tidak berhak memilih. Ini masalah krusial. Harusnya, setiap anda yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah bisa menggunakan hak pilihnya. Sistem itu memastikan hal itu agar masyarakat tidak ragu-ragu,” ujarnya. (Yahya Farid Nasution)
“Sosialisasi yang membangun kesadaran pemilu sangat lemah. Seharusnya KPU mempermudah pemilih. Pertama, soal sistem undangan. Pemilih kan dikirimi undangan. Seolah-olah kalau undangan tidak sampai, pemilih merasa tidak berhak memilih. Ini masalah krusial. Harusnya, setiap anda yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah bisa menggunakan hak pilihnya. Sistem itu memastikan hal itu agar masyarakat tidak ragu-ragu,” ujarnya. (Yahya Farid Nasution)
C.
Menekan
Angka Golput
Jumlah
golput tidak akan menggagalkan sebuah pemilu, meski mencapai 75 persen. Gerakan
golput juga tidak mengubah sistem apapun. Sudah saatnya masyarakat
meninggalkan kebiasaan golput dalam pemilu, menggunakan hak pilih mereka secara
bijak untuk memilih pemimpin.
Golput
merupakan ekspresi ketidakpuasan kepada partai politik karena figur-figur yang
dicalonkan dianggap tidak lagi bisa dipercaya. Fenomena itu lantaran banyaknya
persoalan bangsa yang tidak mampu dibenahi para pemimpin. Mereka hanya
menawarkan janji-jani kosong, bahkan banyak yang terjerat kasus korupsi.
Golput
sudah harus ditinggalkan karena tak akan mampu merubah perpolitikan bangsa. Ada
beberapa hal yang bisa dipakai untuk memperbaiki politik di negeri ini.
Diantaranya dengan gerakan hak pilih dan menggalakkan gerakan pemilih yang
rasional dan cerdas untuk melawan partai-partai bopeng. Kita bisa melakukannya
dengan cara mengajak orang-orang di sekitar kita agar tidak golput, memilih
pemimpin yang sesuai hati nurani.
Solusi untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pemilu :
1. Memaksimalkan proses sosialisasi
tentang pentingnya Pemilu dalam sebuah Negara yang demokratis, bukan hanya
sosialisasi teknis penyelenggaraan Pemilu. Meskipun dalam ketentuan
undang-undang menyatakan bahwa sosialisasi dilakukan terkait dengan teknis
penyelenggaraan Pemilu, namun sosialisasi segala hal yang melatarbelakangi
penyelenggaraan Pemilu perlu untuk dilakukan. Hal ini menjadi penting
karena penanaman pemahaman terkait dengan esensi dan kaidah-kaidah demokrasi
merupakan inti penggerak semangat masyarakat untuk terus menjaga demokrasi dan
penyelenggaraan Pemilu di Negara ini.
2. Pendidikan
bagi pemilih perlu mendapatkan fokus yang jelas. Ini terkait dengan proses
segmentasi pendidikan pemilih. Pemilih pemula dari generasi muda merupakan
segmentasi penting dalam upaya melakukan pendidikan bagi pemilih dan tentunya
pendidikan bagi pemilih pemula ini tidak hanya dilakukan ketika masuk usia
pilih. Namun lebih dari itu, pendidikan bagi pemula seharusnya dilakukan sedini
mungkin, sehingga pemahaman tersebut terbangun dan ketika sudah mencapai usia
pemilih, para pemilih pemula sudah siap menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Mengadakan
simulasi pemilu atau demokrasi dalam ruang lingkup disekitarnya seperti
diadakan sistem pemilu disaat pemilihan anggota osis di sekolah, dan diadakan
sistem pemilu saat pemilihan keanggotaan BEM di kampus . Kebijakan tersebut
membantu meningkatkan minta masyarakat dari sejak dini.
3. Meningkatan
kinerja penyelenggara Pemilu, bukan
hanya menumbuhan kesadaran tentang pentingnya partisipasi masayarakat dalam
penyelenggaraan Pemilu tetapi kinerja dari badan pemilu seperti KPU dan
instansi pemerintah harus lebih dimaksimalkan pelayanan dan kinerjanya sehingga
dapat mengurangkat tingkat golput karena
kinerja yang kurang efektif.
4.
Survei atau jajak pendapat dan
penghitungan cepat
yang kini banyak mendapatkan sorotan publik terkait dengan integritas
pelaksanaannya. Banyak anggapan bahwa survei atau jajak pendapat dan
penghitungan cepat dilakukan hanya untuk kepentingan profit saja. Namun, di
satu sisi, perlu diperhatikan bahwa keberadaan kegiatan survei atau jajak
pendapat dan penghitungan cepat sangatlah penting. Kegiatan tersebut juga bisa
dijadikan sebuah sarana untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan
penyelenggaraan Pemilu. Untuk itu, kegiatan survei atau
jajak pendapat dan penghitungan cepat perlu mendapatkan dukungan, karena kegiatan tersebut
merupakan sarana yang tentu saja bukan hanya ditujukan untuk menghitung atau
profit saja, namun lebih dari itu, ada proses pendidikan bagi para pemilih
serta informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu.
0 komentar:
Posting Komentar